Aku teringat semua tentangnya, muka ceria, kulit coklat, badan tinggi, baju rapih lengkap dengan atribut sekolah, dan aroma dari tubuhnya ketika lewat dihadapanku sangat khas. Bau ketombe! Aku rasa itu karena rambutnya yang terlihat berminyak lengket dan disitulah ketombe berkembangbiak. Hanya Dia yang berbeda, yang lainnya sama mengeluarkan aroma bau matahari karena berkeliaran di sekolah dari pagi sampai sore, tapi Dia, khusus Dia, baunya sangat khas, si Snowflakes, Aku menamainya secara rahasia.
Aku Perempuan ceria di kelas ku, ya setidaknya Aku tidak termasuk murid Perempuan yang diam saja Ketika sedang diganggu oleh murid lain. Aku punya self defense yang cukup baik, Ibuku mengajariku untuk bersikap tegas jika ada yang jahil kepadaku. Biasanya murid laki-laki yang sering menjahiliku dengan kelakuan random nya, dan Aku tentu saja akan langsung melakukan perlawanan. Saat itu Aku melawan si Snowflakes. Saat itu Aku ragu-ragu, tidak mengeluarkan semua tenagaku untuk membalas kejahilannya, Aku kalah sebelum perang. Aku sudah menyerah Ketika ingat bau ketombe nya yang menyengat. Benar-benar waktu yang tidak tepat.

‘Aku heran, kenapa si Snowflakes tidak menyadari ada aroma bau di kepalanya.’
Di Kelas ku banyak murid lain yang juga sering mengeluarkan aroma tidak sedap di badannya, tercium dari radius terjauh sekalipun diruang kelas. Mungkin karena Kami masih di usia remaja, apakah ini yang namanya hormon remaja, lagi jadi-jadinya bau keringat. Ya, setidaknya ada kambing hitam yang bisa menangkis tuduhan mandi kurang bersih. Mungkin itulah mengapa kelas tujuh ini masih banyak aroma tidak sedap dari murid lulusan kelas enam memasuki fase remaja di kelas tujuh.
Si Snowflakes murid yang aktif dalam kegiatan apapun yang ada di sekolah. Dia selalu ingin dipilih menjadi bagian penting dalam sebuah team. Ketika Aku harus berhadapan dengannya untuk melakukan perlawanan atas kejahilannya, Aku menyerah diawal, bukan karena dia berkeringat, tapi rambutnya membuatku mau pingsan apalagi dia baru saja bermain futsal.
Snowflakes adalah nama rahasia yang Aku buat dan hanya Aku sendiri yang mengetahuinya. Bahkan Aku memanggil dia Snowflakes dalam hati setiap kali Dia melewati pandanganku. Mungkin sampai lulus Sekolah nama rahasia ini tidak akan pernah Aku bongkar kepada siapapun.
Setiap hari kejadian di kelasku selalu melibatkan Snowflakes, hari demi hari lewat begitu saja, sampai akhirnya Kami semua terbiasa dengan segala macam bau yang ada didalam kelas. Air conditioner hanya berfungsi menyejukkan Kami dari hawa panas diluar, tapi aroma-aroma ini tidak akan pernah hilang hanya dengan tiupan angin AC.
Dua tahun kemudian, Kelas Sembilan, Aku dan Snowflakes sekelas lagi. Kali ini Dia duduk tepat di depanku, dan snowflakes tetap setia berkembang biak di rambutnya kurasa.
‘Hey,’ Snowflakes menyapaku.
‘Hey, juga,’ Kataku, membalas sapaannya.
‘Lo sekelas lagi sama Gua, kasih tahu ya kalo ada ulangan, kan Lo pinter,’ Ucapnya sambil cengar cengir
‘Gak mau, Lo mikir aja sendiri, udah gede ngapain nyontek,’ Kataku sambil tutup muka pakai buku.
‘Masih aja judes dari dulu, gak asik Lo.’ Katanya, lalu dia membalikkan badan kedepan.
Kehadiran Dia di kelas ini adalah tantangan besar bagiku, karena aroma snowflakes itu pasti terasa menghantuiku selama proses belajar berjalan. Aroma itu masih familiar dan Aku tiba-tiba ingin menghubungi Ibuku untuk mengajukan pindah kelas atas namaku.
‘Apa-apaan sih, masa kaya gini doang mau minta pindah kelas, gila!’ Kataku dalam hati.
Kejadian demi kejadian terlewati begitu saja, takdir mempertemukan kami Kembali, tujuh tahun kemudian.
Kehadiran Dia kali ini diluar dugaan, Dia masih rapih seperti dulu, kulit coklat, tapi ada perubahan signifikan pada rambutnya. Rambutnya tidak lepek, tidak berminyak, dan tidak berbau snowflakes. Rambut dan tubuhnya Wangi!

‘Boleh Aku duduk disini?’ Tanya dia dengan muka datar tapi kesannya ramah.
‘Oh, boleh,’ Kataku, dengan muka bingung.
‘Kamu Renu, kan?’ Tanya Dia sambil garuk kepala.
‘Iya Aku tahu Kamu Adit, kan,’ Kataku sambil melihat ka arah rambut nya.
‘Iya kok Kamu masih ingat sih?’ Tanyanya, seolah hanya Dia yang bisa mengingatku.
‘Ingat dong, siapa yang bisa lupa sama seorang Adit si..,’ Tiba-tiba kalimatku terhenti.
‘Adit si… apa? Terusin dong ngomongnya,’ timpal Adit.
‘Emm, ngga kok itu anu bukan apa-apa kok.’ Jawabku dengan muka panik.
Sebutan snowflakes kan cuma Aku yang tahu, gawat kalau sampai Dia dengar itu.
Gila! gila, Dia sangat berbeda, Dia duduk tepat di sebelahku dan aroma tubuhnya sangat wangi. Rambutnya rapih, tidak ada bau ketombe! Aku mencuri pandang ke arahnya saat dia sedang sibuk dengan handphonenya, seperti laki-laki mapan, tenang, disiplin, pekerja keras.
‘Ah! bilang aja Dia keren banget!’ Kataku dalam hati.
‘Kesambet petir dimana Dia sampai berubah begini.’ Lanjutku dalam hati.
‘Kebetulan banget ya Kita ketemu disini,’ katanya, sambil memandangku.
‘Kamu kerja disini?’ Dia bertanya.
‘Iya, gedung itu, kantor tempatku kerja, lantai 17. Kamu ngantor disitu juga?’ Tanyaku.
‘Oh ngga, Aku lagi mau makan siang di Gedung itu ada makanan enak tempat Aku biasa makan siang hampir sebulan ini. Aku baru balik lagi ke Jakarta setelah empat tahun di London. Dan tempat ini paling dekat dengan kantorku sekarang, jadi hampir sebulan ini setiap hari Aku makan siang disitu,’ Jawabnya.
‘Kok Kita gak pernah ketemu ya, padahal udah sebulan Kamu bolak balik kesini ya,’ Jawabku sambil tertawa ringan.
‘Emang Kamu berharap ketemu Aku ya?’ Tanya nya sambil menggodaku dengan senyuman irit nya.
‘Hah?’ Jawabku dengan muka panik.
‘Eh eh udah jam berapa nih, 1.12 pm, Aku harus balik kantor, see you ya!’ Jawabku dengan cepat.
‘Eh eh tukeran nomor dong, siapa tahu bisa makan siang bareng besok, nomor Aku masih yang lama, nomor Kamu?’ Dia bertanya.
‘Aku juga masih pakai nomor yang lama, Kamu belum hapus kan?’ Tanyaku sinis.
Dia tidak menjawab apa-apa, dia hanya melihat ke arahku tersenyum irit seolah memperhatikan anak kecil lucu yang mau lari dalam pengawasannya.
Aku menghabiskan dua belas tahun dengan Adit di sekolah yang sama. Meskipun hanya tiga kali Aku sekelas dengan nya, tapi Aku pasti bertemu dengannya hampir setiap hari, selama 312 hari dikali 12 tahun, kurang lebih sesering itu intensitas pertemuan Aku dan Adit. Pertemuan Kemarin benar-benar membuatku penasaran, perubahan dalam dirinya sangat signifikan. Adit yang kukenal dulu sudah berbeda dengan Adit yang sekarang.
Hari ini Aku makan siang bersama Adit, Dia menelponku kemarin malam dan mengajakku makan disebelah Gedung tempatku bekerja. Ada restoran yang menyediakan bermacam-macam salad cukup terkenal di daerah situ, dan Dia bilang itu salah satu tempat favoritnya. Kami ngobrol banyak hal, dari mulai kabur saat jam pelajaran sekolah dulu sampai ke perjuangan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kriteria Kami. Adit juga sangat antusias menceritakan pengalamannya selama di London sampai akhirnya Dia Kembali ke Jakarta.
‘Aku di London jarang sekali ikut party dengan teman sekamarku, mereka semua sangat spoiled dan difasilitasi barang-barang mewah oleh keluarganya. Meskipun Aku tidak kekurangan suatu apapun, tapi satu hal yang Aku kejar, Aku ingin menyelesaikan semester akhir dengan nilai baik dan berusaha lebih cepat, agar Aku bisa segera Kembali ke Jakarta. Aku merasa disini tempat bermain dan disinilah Aku ingin menjalani kehidupan profesionalku, Aku suka London, tapi Aku belum bisa meninggalkan Jakarta.’ Ucapnya sambil mengunyah daun arugula yang renyah, karena rasanya perpaduan antara pedas dan sedikit getir di lidah, mulutnya terlihat sangat effort saat itu.
‘Jadi Kamu ngga kembali lagi ke London?’ Tanyaku.
‘Ngga,’ Jawabnya.
‘Aku juga terjebak di Jakarta, pernah apply ke beberapa Perusahaan luar, tapi ngga ada yang ngangkut, entah karena harus ada orang dalam atau memang Aku nya saja yang tidak kompeten,’ ucapku sambil terbahak.
‘Aku yakin Kamu belum beruntung aja,’ Ucapnya.
Aku belum menemukan jawaban rasa penasaranku kenapa Adit sangat berubah, Aku paham tentang masa transisi perkembangan remaja menuju dewasa. Merasa seperti tiba-tiba diharuskan untuk mendadak serius karena sudah dewasa, harus fokus ke masa depan, penyesuain terhadap tubuh dan perasaan yang mulai matang secara seksual. Adit benar-benar menjadi orang baru di hadapanku. Obrolan Aku dan Adit saat makan siang sangat asik, Aku melihat dia tidak memiliki rasa canggung sedikitpun menceritakan kisahnya, begitupun Aku. Aku dan Adit memiliki kesamaan, sama-sama bodo amat sama pandangan orang lain.
Waktu berjalan seperti ingin Aku ulang terus kejadian Bersama Adit, di momen itulah Aku merasa banyak hal yang bisa kulakukan ketika bersamanya, Aku mendapat inspirasi dari setiap obrolan kami. Setiap mendekati jam istirahat Adit pasti sudah mengirim pesan menanyakan mau makan apa. Kami sudah mencoba berbagai macam makanan yang ada dekat kantor dan hampir seluruhnya pernah Aku dan Adit datangi. Pulang kantor Kami sering pergi ke bioskop dan berbagi popcorn berdua, kebersamaan Aku dan Adit tidak terelakkan. Aku sangat menikmati waktu-waktu bersama Adit.
‘Mau kemana habis nonton?’ Tanya Adit.
‘Pulang aja ya, Aku udah cape, hari ini meetingnya gila, tapi Aku sangat menikmati filmnya dan, makasi ya, udah ajak Aku kesini, Aku sangat terhibur’ Jawabku.

Adit selalu hadir dalam keseharianku, karena kantor Kami begitu dekat. Dari sekolah dasar Aku mengenal Adit, sampai Kami bekerja di tempat yang berdekatan, tanpa aba-aba muncul rasa sayang yang begitu besar. Hari itu, jam lima sore turun hujan, Aku dan Adit sedang ditengah jalan menuju parkiran luar yang tidak beratap, Aku dan Adit terpaksa menghadang air hujan menuju mobil karena tidak membawa payung. Baju Kami basah, Kami tertawa didalam mobil dengan kondisi itu.
‘Aku sayang kamu, Ren,’ Ucap Adit.
‘Aku juga sayang kamu, Dit.’ Jawabku.
Diperjalanan Kami tidak berhenti bercerita, Adit banyak menanyakan kebiasaanku saat di sekolah dulu.
‘Kamu dulu kenapa pelit banget kalo dimintain jawaban,’ Tanya Adit.
‘Bukan pelit, tapi ngga mau kasih kesempatan orang malas dapat nilai yang sama dengan orang yang rajin,’ Jawabku sambil meledeknya.
‘Kamu juga sering menghindariku Ketika Aku ajak bicara, padahal Aku cuma mau ngobrol bukan mau tanya jawaban,’ Ucap adit.
‘mmmm untuk menjawab itu Aku perlu bertanya dulu sama kamu, tapi janji kamu ngga bakal marah?’ Tanyaku.
‘Tanya apa aja boleh, Aku ngga bakal marah,’ Jawab Adit.
‘Sebetulnya Aku penasaran kenapa dulu rambut Kamu banyak snowflakes nya?’ Tanyaku.
‘Hah, snowflakes, itu apa?’ Tanya Adit
‘Sorry, maksudku dirambutmu seperti ada ketombe, putih-putih gitu, dan dulu Aku menyebutmu snowflakes secara rahasia, artinya hanya Aku yang menamaimu itu, map,’ Jawabku dengan perasaan tidak enak.
‘Oh, hahaha! Astaga! Malu Aku jadinya. Ibuku sering memarahiku karena cara mandiku kurang bersih, setiap kali Aku diajari mandi pasti Aku merasa paling benar dan bersih. Saat itu Ibu dan Ayahku bekerja, jadi Aku diajari mandiri dari kecil, harus mandi dan menyiapkan baju sekolah sendiri. Ada pengasuhku tapi tidak diperbolehkan memanjakan ku berlebihan. Jadi Aku sudah terbiasa mengurus semuanya sendiri. Momen di kelas bersama kamu itulah mungkin momen terjorokku, hahahaha…. Tapi sekarang udah wangi kan?’
‘Mmm wangi ngga ya? Aku belum pernah mencium apa-apa,’ Jawabku, padahal aku tahu DIa sangat wangi mulai dari tubuh sampai rambutnya sudah tercium harum dari jarak satu meter.
‘Kalo gitu sini deh, Kamu cium Aku, biar Kamu bisa memastikan Aku wangi atau ngga,’ Ucapnya.
Air hujan dibalik kaca mobil membuat perjalanan Kami saat itu semakin indah, temanku yang dulu bau ketombe, sekarang wanginya susah untuk dilepaskan bahkan tidak mungkin bisa dilupakan.